Kesuksesan Nabi Muhammad saw dalam menyebarkan agama Islam tidak terlepas dari kontribusi para sahabatnya yang berjuang mati-matian. Jangan bayangkan cara kerja dakwah Nabi hanya sebatas ceramah atau pidato dari satu tempat ke tempat lain. Tidak. Nabi juga melakukan diplomasi dengan orang-orang di luar wilayahnya, kerjasama, meminta suaka ke Negeri Habasyah, dan melakukan kerja-kerja politik lainnya.

Salah satu titik balik kaum muslimin berhasil membangun basis massa yang besar adalah ketika Rasulullah Saw berhasil melakukan kontrak politik dengan para penduduk Yatsrib, sebuah wilayah yang dilanda konflik antar suku berkepanjangan antara suku Aus dan suku Khazraj. Peristiwa kontrak politik ini dalam catatan sejarah Islam dikenal dengan Bai’at ‘Aqabah. Dalam rombongan Yatsrib terdapat dua belas orang, satu di antaranya adalah Sa’ad bin al-Rabi’. Rombongan dua belas orang ini kemudian masuk Islam dan pulang kembali ke Yatsrib dengan dua orang dari sahabat Nabi yang diutus untuk mengajarkan Islam kepada mereka, Mus’ab bin ‘Umair dan ‘Amr bin Ummi Maktum.

Dalam kitab Thabaqat al-Kubra disebutkan Sa’ad bin al-Rabi’ merupakan pemuka suku Khazraj. Ibunya bernama Hazilah binti ‘Anbah bin ‘Amr. Selain memiliki status sosial sebagai orang dengan darah biru di Yatsrib, Sa’ad bin al-Rabi’ juga merupakan satu di antara sedikit orang terdidik yang dapat tulis menulis.

Modal sosial dan intelektual ini cukup untuk menjadikan Sa’ad bin al-Rabi’ sebagai sosok yang terpandang, ditambah lagi Sa’ad memiliki harta kekayaan yang tidak sedikit. Tidak heran jika Nabi Muhammad saw mempersaudarakannya dengan sosok Abdurrahman bin Auf, seorang saudagar Mekah yang lihai dalam bisnis (tulisan tentang Abdurrahman bin Auf).

Ada kisah menarik tentang dialog antara Sa’ad bin al-Rabi’ dan Abdurrahman bin Auf ketika keduanya baru dipersaudarakan.  Ibnu Ishaq sebagaimana dikutip oleh Abu ‘Abdillah al-Baghdadi berkisah bahwa ketika keduanya telah dipertemukan Sa’ad bin al-Rabi’ lalu mengajak Abdurrahman bin Auf untuk makan di rumahnya. Setelah selesai makan, Sa’ad bin al-Rabi’ berkata, “Saudaraku, aku punya dua orang istri dan engkau adalah saudaraku yang jomlo, aku akan menceraikan salah satu istriku lalu nikahilah olehmu.”

Abdurrahman bin Auf merespon, “Tidak wahai saudaraku, demi Allah.”

Kemudian Sa’ad bin al-Rabi’ mengajak Abdurrahman bin Auf untuk menuju kebunnya, “Mari kita melihat-lihat kebun, aku akan membaginya untukmu.”

Lagi-lagi Abdurrahman bin Auf menjawab, “Tidak. semoga Allah swt memberkahimu, keluarga dan juga hartamu.”

“Tunjukkanlah aku pasar,” pinta Abdurrahman bin Auf kepada Sa’ad. Lalu Abdurrahman bin Auf pergi ke pasar membeli mentega dan keju, mengolahnya lalu menjualnya. Dari sedikit bantuan dan relasinya dengan Sa’ad bin al-Rabi’ ini, Abdurrahman bin Auf kembali menjadi saudagar yang diperhitungkan di Madinah.Sehingga tatkala Rasulullah saw bertemu kembali dengan Abdurrahman bin Auf, ia bertanya, “bagaimana kabarmu wahai Abdurrahman?” Abdurrahman bin Auf menjawab, “Ya Rasul, aku telah menikah dengan seorang perempuan Anshor.”

Sa’ad bin al-Rabi’ tidak pernah absen dalam peperangan bersama Rasulullah saw. Ia ikut ketika terjadi perang badar. Begitu pun pada saat terjadi perang uhud, Sa’ad bin al-Rabi’ menjadi prajurit yang tidak kenal rasa takut untuk menjadi perisai Nabi Muhammad saw dalam menghadapi serangan yang bertubi-tubi dari musuh.

Diriwayatkan dari Ma’an bin Isa dari Malik bin Anas dari Yahya bin Sa’id bahwasanya ketika perang Uhud telah usai, Rasulullah saw berkata, “Siapa yang bisa memberiku kabar tentang Sa’ad bin al-Rabi’?” Satu di antara sahabat menjawab, “Aku wahai Rasul.”

Orang ini pun kemudian berkeliling mencari Sa’ad bin al-Rabi’ di antara para prajurit yang telah syahid dan tengah terkapar karena mendapatkan luka berat. Sa’ad bin al-Rabi’ yang sedang terbaring bertanya kepada orang ini, “Apa yang sedang kau cari?”

Utusan Rasul pun menjawab, “Aku diutus oleh Rasulullah untuk mencarimu dan memberikan kabar tentangmu,” tegasnya.

Sa’ad di tengah lukanya berkata, “Sampaikanlah salamku untuknya dan beritakanlah bahwa ditubuhku terdapat dua belas lubang yang akan menjadi saksiku di hadapan Allah swt. Aku telah melihat ajalku. Dan sampaikanlah kepada kaummu bahwasanya tidak ada penyesalan sedikitpun ketika kalian mati di jalan Allah swt.”

Tidak lama berselang, Sa’ad bin al-Rabi’ pun mati sebagai syuhada perang uhud pada tahun ke-3 H. Tubuh Sa’ad yang tercium wewangian para syuhada dimakamkan satu lubang dengan Kharijah bin Zaid, syahid perang Uhud yang lain.

Dalam kitab Asad al-Ghabah fi Ma’rifat al-Shahabat dijelaskan bahwa Sa’ad bin al-Rabi’ meninggalkan seorang istri dengan dua orang putri. Istri mendiang Sa’ad kemudian menghadap Rasul untuk mengadukan permasalahannya pasca ditinggal sang suami.

“Wahai Rasulullah, Ini adalah dua orang putri Sa’ad. Bapak mereka terbunuh di perang Uhud sebagai syahid. Paman-paman kedua anak ini mengambil harta anak-anak Sa’ad. Demi Allah, kedua anak ini tidak dinikahi kecuali mereka memiliki harta,” terang istri Sa’ad panjang lebar kepada Rasulullah saw.

Tak lama kemudian Rasulullah saw bersabda, “Allah akan memutuskan perkara ini.” Lalu turunlah wahyu al-Quran tentang waris tepatnya Q.S al-Nisa ayat 11

Rasulullah saw kemudian memanggil paman dari anak-anak Sa’ad dan memerintahkannya untuk memberikan hak mereka..

Pada masa perang Badar, Saad bin Rabi adalah salah seorang yang berada di barisan tentara muslim, ia memerangi musuh dengan gagah berani. Pada masa Perang Uhud, Saad kembali membela agama Allah, ia berada di medan perang Uhud dan banyak membunuh orang-orang kafir.